Kamis, 05 November 2009

Rasio penyampaian SPT perlu dipertajam

JAKARTA (bisnis.com): Pengamat pajak dari FISIP UI Ruston Tambunan menilai rasio penyampaian sebesar 46% per Oktober 2009 masih perlu dipertajam lagi karena belum mencerminkan compliance ratio yang sesungguhnya dari sisi penyampaian SPT Tahunan PPh. "Seyogianya target rasio dihitung bukan terhadap total wajib pajak terdaftar, tetapi total wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT. Kalau dari total wajib pajak terdaftar, masih ada deviasinya," katanya kepada Bisnis hari ini. Ditjen Pajak sebelumnya mencatat pengembalian surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh untuk masa pajak 2008 per Oktober 2009 mencapai 5,84 juta atau sekitar 46% dari total jumlah pemilik NPWP yang wajib menyampaikan SPT pada tahun ini yaitu sebanyak 12,7 juta. Jumlah tersebut berarti sudah 1% di atas target yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam surat edaran Dirjen Pajak No. 68/PJ/2009 tentang Target Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh pada 2009 yaitu sebesar 45%. Menurut Ruston, tidak semua wajib pajak yang telah memiliki NPWP mempunyai kewajiban untuk menyampaikan SPT seperti orang pribadi yang mempunyai NPWP tetapi penghasilannya dibawah PTKP. "Belum lagi wajib pajak orang pribadi yang sudah meninggal dunia atau wajib pajak orang pribadi yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya dan wajib pajak badan dengan status nonefektif," katanya. Dari compliance ratio, lanjutnya, akan dapat diketahui apakah target penyampaian SPT yang telah ditetapkan Ditjen Pajak tersebut sudah cukup reasonable atau terlalu rendah. (tw)
sumber: bisnis.com

Pengembalian SPT tahunan capai 46%

JAKARTA (bisnis.com): Pengembalian surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh untuk masa pajak 2008 per Oktober 2009 tercatat mencapai 5,84 juta atau sekitar 46% dari total jumlah pemilik NPWP yang wajib menyampaikan SPT pada tahun ini yaitu sebanyak 12,7 juta. Jumlah tersebut berarti sudah 1% di atas target yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam surat edaran Dirjen Pajak No. 68/PJ/2009 tentang Target Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh pada 2009 yaitu sebesar 45%. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan pihaknya akan terus memperbaiki tingkat kepatuhan wajib pajak dengan menggencarkan sosialisasi perpajakan kepada wajib pajak dan meningkatkan kekuatan pegawai Account Representative (AR) untuk layanan konseling. "SPT yang kembali sudah 46% dari total wajib pajak 2008. Ada kemajuan tapi belum signifikan. Ini akan kita perbaiki terus tingkat kepatuhannya,” katanya di Jakarta hari ini. Dia menambahkan Ditjen Pajak akan jemput bola untuk menghimbau kepada wajib pajak baik yang lama maupun yang baru untuk menyampaikan SPT-nya. "Kalau wajib pajak lama yang nggak masukin SPT kita uber," ujarnya. (tw)
sumber; bisnis.com

Senin, 02 November 2009

Pembatasan fungsi Ditjen Pajak tak beralasan

JAKARTA (bisnis.com): Menkeu Sri Mulyani Indrawati menilai usulan penghapusan fungsi legislatif dan yudikatif yang dimiliki oleh Ditjen Jenderal Pajak tidak berasalan mengingat fungsi tersebut tidak berada langsung di bawah kendali Ditjen Pajak. "Saya sendiri kurang memahami atas usulan itu. Usulan itu tidak berdiri sendiri, tujuannya mau apa?" katanya di sela-sela acara pameran lukisan dan foto di Ditjen Pajak hari ini. Menurutnya, selama ini fungsi legislasi dijalankan oleh Depkeu dan Ditjen Pajak hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan. "Jadi sebenarnya fungsi legislasi itu sudah dipisahkan," katanya. Fungsi yang dimiliki oleh Ditjen Pajak saat ini, lanjutnya, tidak lebih hanya mengimplementasikan dan menjalankan penegakan hukum. Dia mengungkapkan untuk fungsi yudikatif, proses penyelesaian sengketa pajak ditangani oleh Pengadilan Pajak yang secara mekanisme bernaung di bawah Mahkamah Agung. "Saya khawatir masukan itu ada akibat ketidakpahaman," ujarnya. Sebelumnya, salah satu rekomendasi hasil National Summit 2009 adalah menghapuskan kewenangan legislatif dan yudikatif Direktorat Jenderal Pajak. Ditjen Pajak diminta untuk fokus menjalankan fungsi eksekutifnya yaitu mengumpulkan penerimaan pajak. (tw)

Sumber: http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id144665.html

Jumat, 30 Oktober 2009

Anggota DPR baru pemilik NPWP bertambah

JAKARTA (bisnis.com): Ditjen Pajak mencatat anggota DPR periode 2009-2014 yang diketahui belum mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk mulai mengurusnya. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Djoko Slamet Surjoputro mengatakan sampai saat ini jumlah anggota DPR baru yang mengurus NPWP meningkat pesat. "Kelihatannya sudah meningkat lebih baik," katanya kepada Bisnis hari ini. Namun begitu, dia mengaku belum memiliki data pasti berapa jumlah anggota DPR yang sudah mendaftar tersebut. "Ini masih dalam proses, jadi jumlah pastinya belum tahu," ujarnya. Sebelumnya, Djoko pernah mengungkapkan sekitar 60% anggota DPR dan DPD periode 2009-2014 yang baru dilantik ternyata belum memiliki NPWP. Dia menjelaskan jumlah anggota dewan yang belum memiliki NPWP tersebut diperoleh dari hasil cek silang data antara data dari KPU tentang nama-nama anggota DPR dan DPD terpilih dengan data base milik Ditjen Pajak. Menurutnya, salah satu faktor penyebab rendahnya kepemilikan NPWP di kalangan anggota DPR baru itu karena kepemilikan NPWP tidak disyaratkan dalam seleksi pencalonan diri sebagai anggota DPR maupun DPD. (tw)
sumber: bisnis.com

Penagihan tunggakan pajak diintensifkan

SEMARANG (bisnis.com): Penagihan tunggakan pajak WP besar di Kota Semarang diintensifkan yang nilainya sudah mencapai Rp193,69 miliar. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Semarang Haryo Abduh Suryo negoro mengatakan tunggakan tersebut berasal dari sekitar 30% WP yang tercatat sebanyak 1.000 orang, tetapi 84,96% sebesar Rp164,55 miliar berasal dari 10 WP. Menurut dia, pihaknya kini mulai melakukan penagihan secara represif seperti pemblokiran, penyitaan dan pelelangan aset, tetapi sudah lebih dulu lewat proses persuasif dengan pendekatan terhadap WP. Namun, dilihat dari tingkat kepatuhan WP terhadap penyampaian SPT sudah cukup bagus mencapai 94,99% berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan dan 96,42% berdasarkan SPT tahunan PPh pasal 21. "Memang hanya sedikit WP yang tercatat sebagai penunggak pajak, tetapi nilainya besar, sehingga penagihan secara represif terus digalakan," ujarnya kepada Bisnis hari ini. Haryo menuturkan realisasi penerimaan pajak KPP Madya Semarang menjelang akhir Oktober 2009 tercatat Rp2,16 triliun, atau 77,14% dari target akhir tahun mencapai Rp2,8 triliun. Realisasi tersebut tercatat meliputi pajak penghasilan (PPh) Rp1,11 triliun [79,29%], pajak pertambahan nilai (PPn) Rp0,95 triliun [74,8] dan PTLL Rp0,1 triliun [76,92%]. Tiga sektor dominan yang menopang penerimaan pajak di KPP Madya Semarang, dia menambahkan meliputi sektor industri pengolahan, perdagangan dan jasa keuangan. (tw)

Sumber: http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id143945.html

Rabu, 28 Oktober 2009

Sasaran penerima stimulus pajak perlu diperluas

JAKARTA (bisnis.com): Ekonom dari Indonesia Economic Intelegence (IEI) Sunarsip menilai rendahnya penyerapan stimulus PPh 21 DTP akibat desain sasaran masyarakat yang dirancang pemerintah kurang luas. "Jika sasaran penerima stimulus pajak diperluas, misalnya dengan memasukkan masyarakat kelas menengah lebih besar, angka Rp6,5 triliun tersebut bisa habis," katanya hari ini. Namun demikian, dia menuturkan tidak terserapnya stimulus pajak tersebut bukan berarti masyarakat tidak memanfaatkan stimulus tersebut. "Masyarakat sudah memanfaatkan stimulus tersebut. Buktinya, pertumbuhan konsumsi dalam 2 kuartal terakhir cukup tinggi," ujarnya. Menurut diaa, fakta tingginya pertumbuhan konsumsi tersebut bisa memberikan indikasi bahwa jika stimulus pajak terserap seluruhnya, pertumbuhan ekonomi 2009 seharusnya bisa lebih tinggi dari perkiraan saat ini 4%. "Mengingat stimulus pajak ini memiliki efek yang lebih efektif terhadap pertumbuhan PDB dibandingkan bentuk stimulus fiskal lainnya, maka ke depan desain penerima stimulus pajak perlu disempurnakan," tambahnya. Sebelumnya, Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo memperkirakan penyerapan stimulus PPh 21 DTP sebesar Rp6,5 triliun tidak akan terserap 100% hingga akhir tahun ini. (tw)
Sumber: bisnis.com

Jumat, 10 Juli 2009

Minimnya pemanfaat insentif PPh 21 DTP, salah siapa?

'Jauh api dari panggang'. Itulah mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana realisasi dari pelaksanaan stimulus fiskal dalam bentuk insentif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk karyawan.
Lima bulan sudah berjalan, tapi pemanfaat fasilitas tersebut ternyata masih minim sekali. Meski belum ada angka pasti berapa jumlah penyerapan insentif tersebut per Juni 2009, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution pun mengakui bahwa sampai saat ini pemanfaat fasilitas itu masih minim.
Sekadar mengingatkan, pemerintah sebelumnya telah memberikan stimulus fiskal berupa insentif PPh pasal 21 DTP untuk masa pajak Februari 2009-November 2009. Insentif tersebut hanya diberikan kepada karyawan yang berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp5 juta per bulan.
Karyawan yang dapat memanfaatkan fasilitas itu adalah yang bekerja di tiga sektor bidang usaha besar, yaitu pertama, kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan yang meliputi 73 subsektor usaha. Kedua, sektor usaha perikanan yang meliputi 19 sub sektor usaha. Ketiga, adalah sektor industri pengolahan yang meliputi 372 subsektor usaha.
Alokasi dana yang disediakan pemerintah untuk fasilitas itu pun tidak tanggung-tanggung. Setidaknya dana sebesar Rp6,5 triliun disiapkan untuk program stimulus fiskal yang bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebagai stimulus, tentunya insentif ini diharapkan dapat terserap dengan baik sehingga daya beli masyarakat bisa meningkat yang pada akhirnya dapat menggerakkan roda ekonomi nasional yang sedang lesu akibat diterpa krisis global.
Menurut, Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan, Direktorat Jenderal Pajak Liberti Pandiangan, bila dana Rp6,5 triliun tersebut terserap dengan baik, akan dapat menggeliatkan perekonomian yang menyentuh masyarakat menengah ke bawah.
Perhitungannya seperti ini, dengan asumsi multiplier effect 15% hingga akhir 2009 masa berlakunya insentif pajak tersebut, berarti akan tercipta sekitar Rp7,5 triliun permintaan barang dan jasa di pasar.
Tidak berjalan
Alih-alih meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah, pelaksanaan program itu justru tidak berjalan atau terserap dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Misscomunication dan missintepretation baik oleh karyawan maupun pemberi kerja, dituding sebagai biang keladinya. Bahkan pihak perusahaan juga dituding sebagai penyebab karena enggan memanfaatkan fasilitas itu untuk karyawan.
"Kelihatannya ada juga hal-hal yang membuat pemberi kerja tidak tertarik untuk memberikan fasilitas itu," ungkap Darmin, beberapa waktu lalu.
Jika memang demikian, pertanyaannya adalah di mana peran pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak sebagai regulator kebijakan ini? sehingga banyak pekerja dan pemberi kerja yang tidak paham bahkan tidak tahu perihal kebijakan ini.
Asumsinya, misscomunication dan missinterpretation itu muncul akibat dari kurangnya sosialisasi secara vertikal atas sebuah kebijakan pemerintah sehingga 'pesan' dari kebijakan itu tidak ditangkap dengan baik oleh objek kebijakan tersebut dalam hal ini karyawan dan pemberi kerja.
Dengan kata lain, ada yang tidak pas dengan metode sosialisasi Ditjen Pajak selama ini.

sumber: bisnis.com

Kamis, 11 Juni 2009

DPR: Pajak Rokok Diputuskan 15%

INILAH.COM, Jakarta – DPR memutuskan kisaran penerapan pajak rokok antara 10-15% dari cukai rokok. Pajak tersebut menjadi hak Pemprov dan pemkab/pemkot yang berlaku pada 1 Januari 2014.
Hal itu dikatakan Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harry Ashar Azis di Jakarta, Selasa (2/6). “Jadi Menkeu dapat menetapkan pajak rokok pada kisaran tersebut dengan pertimbangan Mendagri,” katanya.
Dengan kisaran tersebut maka aturan lainnya yang menyangkut pajak rokok dapat diselesaikan sebelum masa reses. Namun tata cara pemungutan akan dirumuskan dalam peraturan daerah.
Dia mencontohkan, jika Menkeu memutuskan pajak rokok 10 persen berarti seluruh rokok akan dipajaki sebesar ini dari cukai rokoknya. Bila harga rokok Rp10.000 per bungkus lalu kutipan cukainya 50 persen, berarti terkena pajak rokok 10 persen dari Rp5.000. "Rp500 ini yang masuk ke daerah," kata Harry.
Penerimaan dari hasil pajak rokok tersebut akan dibagi 30 persen untuk provinsi dan 70 persen kepada Kabupaten/Kota. Selanjutnya mereka harus menyisihkan 50 persen dari jatah penerimaan tersebut untuk penanganan kesehatan dan penegakan hukum.[hid]

sumber : inilah.com

Jumat, 05 Juni 2009

Stimulus Fiskal 2010 Bisa Capai Rp50 Triliun

JAKARTA-MI Pemerintah menyatakan nilai stimulus fiskal Indonesia pada 2010 bisa mencapai angka Rp50 triliun. Namun baru stimulus perpajakan senilai Rp40 triliun yang sudah pasti dikucurkan sementara sisanya masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Hal ini dikatakan Menteri Keuangan sekaligus Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu malam (3/6). "Angka stimulus fiskal 2010 adalah Rp50 triliun, sementara untuk perpajakan Rp40 triliun berupa penurunan PPh Badan, dan lainnya," ujarnya. Namun menurut Menkeu selain stimulus pemotongan pajak, angka lainnya sangat tentatif. Bisa saja belanja stimulus di 2010 nilainya sama dengan tahun 2009 yakni Rp12,2 triliun. Namun bisa juga lebih tinggi ataupun lebih rendah dari angka tersebut. "Ini kan masih merupakan aspirasi Komisi XI agar stimulus ini diteruskan. Kalau di luar seperti yang sudah diputuskan RUU PPh itu tadi penurunan tarif pajak kan sudah masuk, jadi pasti otomatis itu masuk ke APBN 2010. Tapi yang lain kan masih tentatif apakah Rp12 triliun akan tetap, atau lebih banyak, atau lebih kecil nanti sangat tergantung pada keseluruhan postur keseluruhan APBN-nya. Rupanya harga minyak masih bergerak juga, jadi tunggu aja deh tanggal mainnya," kata Menkeu. Di tempat yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengatakan dari Rp50 triliun tersebut, sebanyak Rp10 triliun sisanya merupakan stimulus berupa belanja. "Rp40 triliun itu berupa tax cut, yang sudah ada di UU PPh seperti insentif PPh masuk bursa, dan juga berupa BM-DTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah)," paparnya. Karena ada pembiayaan stimulus belanja Rp10 triliun ini, nilai defisit anggaran bisa diperlebar menjadi 1,5% dari PDB atau nominalnya adalah sebesar Rp93 triliun. "Itu pilihan yang kita berikan ke DPR, jika defisit dinaikkan dari 1,3% menjadi 1,5%, maka nilai stimulus belanja bisa dinaikkan dari rencana semula sekitar Rp6,1 triliun," tukas Anggito.(Tup/OL-7)

sumber: mediaindonesia.com

Pajak Ganda Rokok Rugikan Petani Tembakau dan Cengkih

JAKARTA--MI: Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai upaya pengenaan pajak rokok dalam Rencana Undang-undang Pajak Daerah dan retribusi daerah (RUUPD) dampaknya akan lebih banyak merugikan petani tembakau dan petani cengkeh. Ketua KTNA Winarno Tohir di Jakarta, Jumat (5/6) mengatakan saat ini penjualan rokok telah dikenai cukai rokok namun untuk meningkatkan pendapatan daerah barang tersebut kembali diberi pajak rokok. Saat ini, tambahnya, panitia kerja (Panja) DPR RI sedang melakukan pembahasan terhadap RUUPD tersebut yang di dalamnya akan memasukkan pajak rokok. "Pajak tambahan tersebut mengakibatan harga jual rokok lebih tinggi sehingga menimbulkan penurunan volume penjualan, akibatnya permintaan dan kebutuhan atas tanaman tembakau serta cengkeh juga turun," katanya. Akibat selanjutnya, tambahnya, akan menurunkan harga tembakau maupun cengkeh secara drastis. Dengan demikian jika pajak atas rokok diterapkan dalam RUU Pajak Daerah, lanjutnya, bukan hanya petani tembakau dan cengkeh yang mengalami kesulitan namun juga tenaga kerja pabrik rokok terancam PHK. Setelah dilakukan perubahan terhadap UU no 34 tahun 2000 pada pasal 2 dinyatakaan, selain pajak kendaraan bermotor dan pajak air permukaan juga ditambah opsi PPn (Pajak Penjualan) atas jasa telepon dan opsi atas cukai rokok atau pajak ganda atau tambahan. Menurut dia, pemerintah maupun DPR seharusnya tidak mengorbankan kesejahteraan petani dan buruh jika hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Winarno menyatakan, sebaiknya RUU tersebut tidak dilakukan perubahan dimana pajak provinsi terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, pajak bahan bakar dan pajak pengambilan pemanfaatan ari bawah tanah dan air permukaan. "Oleh karena itu KTNA menyatakan penolakan terhadap pajak rokok yang merupakan pajak ganda dalam RUU Pajak Daerah," katanya. (Ant/OL-06)

Sumber: mediaindonesia.com